Nov 5, 2007

Orang Miskin bukan Sekedar Angka

Wahyu Susilo

HARI ini, 17 Oktober 2007, diperingati sebagai Hari Penanggulangan Kemiskinan Sedunia. Dalam dua tahun terakhir, kita selalu disuguhi sengketa statistik tentang turun-naiknya angka kemiskinan.

Dari otoritas negara, seperti lazimnya rezim yang berkuasa, tentu mengklaim telah terjadi penurunan angka kemiskinan. Di sisi lain, di kalangan ekonom non-mainstream, meragukan klaim itu bahkan mengemukakan fakta sebaliknya, jumlah orang miskin Indonesia cenderung meningkat.

Sengketa angka kemiskinan

Meski kedua pihak bersengketa soal angka kemiskinan, namun keduanya meletakkan analisisnya pada ukuran yang sama, yaitu analisis statistik kuantitatif. Perkembangan ilmu ekonomi memang makin eskalatif meninggalkan cabang ilmu sosial lainnya, saat analisis matematik (ekonometri) menjadi tulang punggung ilmu ekonomi. Namun, ilmu ekonomi juga makin meninggalkan "kemanusiaan"-nya saat kebutuhan dasar hidup matinya manusia hanya diwujudkan dalam "angka-angka".

Agak disesalkan ketika Millennium Development Goals (MDGs), yang menjadi komitmen global penanggulangan kemiskinan pada awal abad milenium 2000, lebih banyak menggunakan indikator-indikator kuantitatif dalam elaborasi tujuan dan targetnya.
Ini menjadi salah satu kelemahan MDGs saat menjadi tools advokasi menagih janji dan komitmen negara penanda tangan pakta global ini. Dalam dua kali penyajian progress report MDGs di Indonesia tahun 2004 dan 2005, progress report itu juga penuh angka statistik yang dingin dan kaku, tanpa penjelasan kualitatif yang mampu berbicara.

Dalam situasi seperti itu, para pegiat organisasi nonpemerintah mengembangkan analisis sosial untuk mengidentifikasi pokok soal kemiskinan melalui metode participatory poverty assesment (PPA).

Metode ini hendak mengembalikan "fitrah" analisis kemiskinan yang seharusnya berdasarkan kebutuhan kaum miskin secara riil. Dengan demikian keluaran dari analisis ini adalah narasi-narasi kualitatif yang tak lazim dipakai kaum tekno-ekonom kita yang mendominasi perencanaan kebijakan makro-ekonomi.

Narasi-narasi kualitatif itu bisa menjadi pedoman perumusan kebijakan penanggulangan kemiskinan. Satu-satunya kebijakan penanggulangan kemiskinan yang pernah disusun melalui metode ini adalah Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan yang diadopsi menjadi Bab 16 dari Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009.

Sayang, dokumen itu tak dijadikan road map penanggulangan kemiskinan. Dokumen ini menjadi tak ada artinya saat negara (dalam hal ini konspirasi eksekutif-legislatif) memproduksi legislasi kebijakan makro-ekonomi yang berkiblat pada pasar dan investasi, sesuai dengan petuah lembaga multilateral dan donor multilateral yang menjadi sumber utang pendanaan pembangunan.

Kebijakan tanpa perasaan

Jika kemiskinan hanya diperdebatkan dalam angka, tabel, atau grafik statistik, tak akan ada penghayatan atas kemiskinan yang benar-benar dirasakan rakyat Indonesia.

Dan perdebatan itu pun hanya menghasilkan kebijakan tanpa perasaan karena disusun tanpa penghayatan dan pelibatan langsung pada realitas kemiskinan. Perda Ketertiban Umum yang berlaku di DKI Jakarta merupakan contoh nyata kebijakan yang dibuat tanpa perasaan dan penghayatan.

Hampir selalu ada penyangkalan dari otoritas kekuasaan saat media atau organisasi nonpemerintah melansir realitas kemiskinan (misalnya kematian akibat kelaparan/gizi buruk) yang dialami komunitas miskin di suatu wilayah.

Penyangkalannya bisa berupa penciutan/pengurangan data, dengan menyatakan, jumlah yang mati/lapar/mengalami gizi buruk masih kecil persentasenya.

Bentuk penyangkalan lain adalah pengabaian data itu, bahkan sering berkilah, yang mengalami kematian/gizi buruk/kelaparan bukan orang yang ber-KTP wilayah itu (kaum pendatang).
Berbagai penyangkalan tersebut mengisyaratkan, memang ada pemakluman bahwa orang miskin perlu ada sebagai tumbal bagi mereka yang kaya.

Orang miskin sebagai "kriminal"

Selain hanya ditulis sebagai "angka", orang miskin kerap pula dianggap dan diperlakukan sebagai "kriminal".

Masih dalam suasana Idul Fitri, saat seharusnya semua orang (termasuk pejabat) membuka lebar-lebar mata hatinya, sudah menebar teror dan ancaman untuk orang miskin yang mencoba mengadu nasib di Ibu Kota.

Petinggi Ibu Kota menyatakan akan menangkap dan memulangkan ratusan ribu pendatang baru (mayoritas orang miskin) yang selalu datang ke Jakarta pada masa arus balik Lebaran. Apakah Ibu Kota ini hanya milik orang berpunya?

Jika ancaman itu benar-benar dilakukan dan Pemprov DKI menggerakkan Satpol PP untuk Operasi Yustisi, apa yang dilakukan Pemprov DKI persis yang dilakukan Pemerintah Malaysia menggerakkan Rela "memangsa" orang Indonesia di Malaysia.
Menegaskan komitmen

Soal komitmen penanggulangan kemiskinan, Indonesia tak hanya menjadi bagian dari pakta global MDGs, tetapi juga telah menjadi negara peratifikasi Kovenan PBB untuk Hak-hak Ekonomi Sosial Budaya (melalui UU No 11/2005). Kovenan itu bahkan lebih operasional dan mengikat secara yuridis karena mengamanatkan adanya harmonisasi perundang-undangan di tingkat nasional.

Meski demikian, hingga kini belum terlihat gelagat politik dari pemerintah untuk mengharmoniskan UU bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Masih konservatifnya politik anggaran yang tercermin dalam APBN menjadi bukti pengabaian implementasi ratifikasi kovenan pokok ini.

Hingga kini APBN kita hanya menjadi pelestari birokrasi biaya tinggi, membuka peluang korupsi, tetapi masih terlalu jauh untuk memfasilitasi upaya mencerdaskan dan menyehatkan warga negara, apalagi membebaskannya dari belenggu kemiskinan.***

Wahyu Susilo Bekerja di International NGO Forum on Indonesian Development (INFID); Campaigner Global Call to Action Against Poverty (GCAP).

Artikel ini dimuat di harian Kompas, Rabu, 17 Oktober 2007.

24% orang Sumsel miskin !

sumsel.wordpress.com


Kerap kali kita merasakan kebanggaan karena Sumsel termasuk propinsi dalam lima besar Propinsi Terkaya di Indonesia. Dengan kekayaan yang begitu banyak itu apapun bisa diperbuat oleh Sumsel. Termasuk memberi kesejahteraan kepada rakyatnya. Seharusnya rakyat Sumsel harus jauh lebih makmur dibandingkan 25 propinsi lain yang tidak masuk dalam lima besar.

Kenyataannya pun memang benar demikian. Sumsel maju dan berkembang pesat. Pembangunan terjadi dimana-mana. Kendaraan mewah dan rumah-rumah mewah bukanlah pemandangan baru disini. Dis etiap jalanan dan penjuru kota banyak kita jumpai.
Namun sayang, kesejahteraan dan gelimangan harta masih dirasakan hanya oleh segelintir orang saja. Di Sumsel, yang pertama kali akan merasakan sejahtera adalah mereka orang-orang yang berkuasa. Para pejabat pemerintah dan orang-orang politik.
Sedangkan bagi rakyat bawah yang jumlahnya mayoritas, kesejahteraan masih baru sebatas impian diatas awan.
Hal ini tidak bisa dipungkiri. Secara kasat mata, kita masih sering menyaksikan orang miskin berkeliaran di jalanan. Pengangguran masih banyak berhamburan. Akibatnya aksi kejahatan masih merupakan sesuatu hal yang biasa terjadi sehari-hari saja. Karena itu hanyalah dampak dari adanya kemiskinan dan banyaknya pengangguran.
Hingga saat ini angka pengangguran di Sumatera Selatan (Sumsel) masih cukup tinggi, ini dilihat dari data catatan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa angka pengangguran mencapai 10,44 persen dari angkatan kerja dengan jumlah 352.191 orang pada periode 2006.
Hal ini diakui Gubernur Sumsel Syahrial Oesman ketika paparan pada Musrenbang beberapa waktu lalu.
Gubernur Sumsel mengatakan tingginya angka pengangguran ini harus diakui, namun diharapkan pada 2007 angka pengangguran akan bisa dikurangi dengan banyak lapangan kerja baru yang dibuka oleh para investor yang membuka usahanya di provinsi ini.
Syahrial juga mengatakan per soalan pengangguran merupakan ancaman yang sangat serius karena dampaknya dapat mempengaruhi faktor keberhasilan pembangunan suatu daerah yang ditandai dengan peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Gubernur juga mengungkapkan jumlah penduduk miskin periode 2005 berjumlah 2.144.700 jiwa. Pada tahun 2006 jelasnya, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan menjadi 1.655.860 jiwa namun itu masih relatif tinggi yakni 24 persen dari jumlah penduduk.
Ia juga menjelaskan saat ini pertumbuhan ekonomi provinsi ini dalam 2006 sebesar 5,2 persen (dengan Migas) sedangkan tanpa migas sebesar 7,31 persen dan lebih tinggi dari capaian pertumbuhan ekonomi tahun 2005 sebesar 6,92 persen. Tapi untuk 2008 target pertumbuhan yang telah ditetapkan didalam Rencana Program Jangka Menengah (RJPM) sumsel 2005-2008
Tapi ini bukanlah perkerjaan gampang dan untuk mewujudkan keinginan itu harus ada kerja sama yang baik dari semua pihak.
Tapi bukan jga pekerjaan susah, kan? (Taswin)

Nov 4, 2007

Angka Buta Aksara di Sumsel

Jangan heran melihat data ini, kenyataannya masih ada 98.948 orang yang buta aksara di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), salah satu provinsi terkaya di Indonesia ! berikut daftar jumlah per kabupatennya :

Ogan Komering Ilir 15.475
Banyuasin 12.378
Musi Rawas 11.050
OKU Timur 9.955
Palembang 8.938
Lahat 8.558
Muara Enim 8.237
Musi Banyuasin 8.119
Ogan Ilir 5.201
OKU Selatan 4.054
Ogan Komering Ulu 2.535
Lubuk Linggau 1.954
Pagar Alam 1.468
Prabumulih 1.026

sumber: sriwijaya post www.indomedia.com/sripo

Laba XL turun 69%

akarta (ANTARA News) - PT Excelcomindo Pratama Tbk sepanjang sembilan bulan 2007 mencatat penurunan laba bersih sebesar 69 persen dibandingkan periode sama sebelumnya dari Rp500 miliar menjadi Rp156 miliar.

"Penurunan laba bersih ini disebabkan oleh keputusan manajemen untuk membayar 'withholding tax' (WHT/pajak terhadap bunga pembayaran cicilan) atas bunga obligasi dolar AS," kata Presiden Direktur Excelcomindo, Hasnul Suhaimi, dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan, "withholding tax" (WHT) atas bunga obligasi dolar AS dengan bunga 20 persen dan dendanya yang harus dibayar sebesar Rp341 miliar untuk periode tahun 2004 hingga September 2007.

"Jika XL tidak membukukan withholding tax tersebut, maka laba bersih XL hingga kwartal ke-3 2007 seharusnya bisa mencapai Rp472 miliar," katanya.

Walaupun laba bersih menurun, pendapatan usaha perseroan sebesar Rp5,4 triliun atau naik 32 persen. meningkat 32 persen dari Rp4,1 triliun pada periode yang sama sebelumnya.

"Tidak bisa dipungkiri, pencapaian ini adalah hasil dari penerapan sejumlah program yang beragam selama sembilan bulan di tahun 2007. Program dimaksud antara lain tarif promo bebas Rp 1/detik untuk panggilan keluar ke semua pelanggan XL di seluruh Indonesia," katanya.

Hasnul menuturkan dari berbagai program tersebut terjadi peningkatan pelanggan XL sebesar 53 persen per 30 September 2007 menjadi 12,8 juta dari 8,4 juta per 30 September tahun lalu.

Hingga 30 September 2007, jumlah BTS (termasuk Node B / BTS 3G) telah mencapai hampir 10 ribu unit, tepatnya 9.947 BTS di seluruh Indonesia . Jumlah ini meningkat 52 persen dari 6.537 unit per 30 September 2006. Hingga kuartal ke-3 tahun 2007 ini, XL telah membelanjakan kapital (capex) sebesar Rp 4,6 triliun untuk membangun sekitar 2.700 unit BTS. (*)

Paradoks Pertumbuhan Ekonomi

Jakarta (ANTARA News) - Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Miranda S. Goeltom, mengatakan bahwa paradoks pertumbuhan ekonomi yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun tidak disertai penyerapan tenaga kerja sekaligus pengentasan kemiskinan yang luas, perlu segera dihentikan.

"Jika tidak dilakukan berbagai upaya perbaikan di berbagai hal, maka khususnya menyangkut perbaikan kesejahteraan kehidupan mayoritas masyarakat Indonesia yang masih berada di bawah standar kehidupan yang memadai, fenomena paradoksial itu rentan bagi kestabilan ekonomi makro jangka panjang," katanya di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, sebagai mayoritas, masyarakat kecil dan menengah merupakan kontributor terbesar dalam pertumbuhan ekonomi dan menjadi pasar bagi berbagai produk, sehingga bila keadaan masyarakat menengah kecil semakin memburuk akan menurunkan permintaan yang mendorong melemahnya pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,5 persen pada tahun 2006 dan diperkirakan 6,2 persen pada 2007 ini, menurut dia, belum menyerap tenaga kerja secara optimal.

Angka pengangguran terbuka, menurut dia, dari data BPS pada 2006 mencapai 10,9 juta jiwa (10,3 persen) dan pada Juli 2007 meningkat tipis menjadi 10,6 juta jiwa (9,8 persen) padahal hingga triwulan tiga pertumbuhan ekonomi diperkirakan telah mencapai 6,2 persen.

Sedangkan, kemiskinan pada bulan Juni 2007 yang mencapai 37,17 juta jiwa atau 17,75 persen populasi, meski menurun dibandingkan kondisi akhir tahun 2006 yang mencapai 39,30 juta jiwa belum optimal.

Dalam kajian BI, menurut dia, paradoks tersebut akibat pertumbuhan ekonomi yang didorong sektor "non-tradable" yang relatif sedikit menyerap tenaga kerja.

"Sementara sektor, industri manufaktur mengalami stagnasi dan sub sektor pertanian pangan yang menjadi ladang kehidupan sebagian besar petani masih terus tertekan," katanya.

Selain itu, ia menambahkan, sumber-sumber pendorong pertumbuhan ekonomi sangat terbatas. Terbatasnya sumber pendorong ekonomi seperti investasi mengakibatkan pertumbuhan ekonomi masih bertumpu pada konsumsi yang dalam jangka panjang tidak berkelanjutan. (*)