Aug 22, 2008

Simbiosis Mutualis: Filsafat & Teologi

Oleh: Eddy Kristianto

Seorang filosof-teolog skolastik, Thomas Aquinas, mengatakan bahwa filsafat itu hamba teologi (philosofia ancilla theologiae est). Maksudnya, mahkota dari sumber segala ilmu (filsafat) adalah teologi (refleksi ilmiah tentang iman kepada Allah). Teologi mestinya dilayani oleh ilmu-ilmu bantu, seperti filsafat.

Dalam periode skolastik, filsafat disebut hamba teologi tidak hanya karena kebenaran filsafat disubordinasikan pada kebenaran-kebenaran teologis, tetapi juga karena filsafat pertama-tama mengandalkan pada daya-daya insani saja.

Filsafat di sini punya makna luas, termasuk di dalamnya ilmu pengetahuan. Ada kesan ungkapan tersebut berbau anyir untuk alam pikiran modern, khususnya di hadapan konflik wajar antara ilmu pengetahuan dan agama; apalagi kalau hal itu mengimplikasikan bahwa dogma hendaknya berada di atas pemikiran rasional.

Memikirkan dan mendengarkan

Memikirkan berarti melakukan penafsiran (interpretasi). Sebelum zaman Thomas Aquinas, teologi tidak dikaitkan dengan pemikiran rasional, sementara ia mendesakkan teologi mestinya menggunakan filsafat dalam arti luas sebagai sarananya (means). Gagasannya adalah untuk memperbaiki teologi, bukan untuk memperbudak filsafat.

Sebelum pemikiran Aquinas menjadi bentuk resmi teologi Katolik, dia dipandang dengan sebelah mata sebagai bidah (heresy) karena antaran filsafat Aristotelian yang diusahakannya ke dalam teologi. Mengingat Aristoteles adalah filosof pra-Kristen, maka pemikiran Aquinas dianggap sebagai antaran kekafiran ke dalam Kristianitas.

Padahal, titik pijak filsafat dan teologi sungguh berbeda. Filsafat tidak mengandaikan iman dan kepercayaan kepada Tuhan, yang diakui sebagai Yang Mutlak (absolut), sekalipun A Forest dalam La philosophie orante menulis, "Jika pikiran mencapai dasarnya, ia dengan sendirinya menjadi religius, bukan sesuatu yang disimpulkan, melainkan sebagai sesuatu yang pasti". Filsafat (philo dan sophia) berobjekkan ada, beraktivitas memikirkan.
Adapun titik pijak teologi adalah pengalaman (eksistensial dan empiris) beriman, yang merupakan tanggapan atas pernyataan Diri Allah. Di sini manusia beraktivitas mendengarkan. Ia mendengarkan firman (logos).

Tidak perlu di sini diangkat konflik filsafat dan teologi pada masa silam kalau kita tidak hendak terjerembab (meminjam tradisi filsafat analitik) dalam category mistrakes (Mengabdi Kebenaran/MK, halaman vii). Kalau masing-masing pengemban ilmu cukup rendah hati dan tidak angkuh, ia akan menerima kebenaran ini: pikiran yang membawa kita naik kepada Allah adalah kelanjutan dari gerak yang membawa kita kepada Ada (MK, halaman vii).
Kebenaran (veritas)

Manusia bukan kebenaran. Ia "hanyalah" pencari kebenaran. Oleh karena itu, manusia tidak dapat menjadi tolok ukur kebenaran. Meski keingintahuan Pontius Pilatus tentang "apa itu kebenaran?" tidak terjawab, ukuran lazim kebenaran tidak sulit dirumuskan, yakni kesesuaian antara akal budi (rasio) dan kenyataan (realitas).

Kebenaran yang dipikirkan dan dicari itu imperatif sekaligus indikatif; hal mana berkaitan dengan tegangan antara tugas manusia mencari-menemukan kebenaran dan pemberian (gift) dari Allah (Bdk. Allah Menggugat (AM), halaman 488).
Buku Mengabdi Kebenaran memperlihatkan arus macam apa yang tengah diperjuangkan mazhab filsafat Ledalero. Sebanyak 9 dari 12 bagian buku ini mengembangkan dan berpijak pada konteks para penulis untuk menghormati Jozef Pieniazek yang genap berusia 80 tahun.
Pieniazek, yang telah mengajar filsafat lebih dari 40 tahun di Ledalero, Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur, berhasil merajut dua tradisi: iman dan filsafat, dengan benang merah keutamaan-keutamaan (virtus) seperti ketulusan, kesetiaan, dan kejujuran (MK, halaman 25). Pieniazek dalam mazhab filsafat Ledalero merupakan figur sekaligus ikon yang mengajarkan apa yang diyakini (cfr. MK 329-366). Inilah kualitas seorang guru.
Beberapa penulis, mantan murid Pieniazek, bersandar pada paradigma pemikiran para tokoh seperti Alasdair MacIntyre (Bagian 1), Thomas Aquinas (Bagian 2), Walter Benjamin (Bagian 3), Emmanuel Levinas (Bagian 4), Krisna Chandra Bhattacharya (Bagian 6), Ibn Rush dan Thomas Aquinas (Bagian 7), Thomas More (Bagian 9), dan Karol Wojtyla (Bab 11).
Semua bahasan dibuat menukik di dalam kebenaran, mengingat kebenaran dapat dipelajari dari tradisi dan dari peguyuban di mana seseorang hidup (MK, halaman 1-25). Bukan De Veritate Thomas Aquinas jika tidak berbicara tentang kebenaran (MK, halaman 27-88).
Apa yang digumuli Walter Benjamin (filosof sejarah) adalah menyingkap kebenaran yang pasti memihak (MK, 89-134). Mengabdi pada kebaikan bersama (common good), teristimewa kelompok-kelompok kecil, memperlihatkan kualitas pribadi dan keberpihakan yang "menyandera".
Kebenaran itu terjadi dalam dialektika antara sikap kritis terhadap penyimpangan dan ketetapan yang perlu dipatuhi. Selain itu, juga dialog antara keyakinan pribadi (iman yang perlu dipertanggungjawabkan sebagai fides quaerens intellectum) dan budaya. Dialog ini respektif, saling memperkaya dan mengantar orang sampai pada tanggung jawab bersama.
Dalam konteks ini, "setia pada kebenaran" yang pernah dilansir Prof Sudarminta SJ mendapat teman dalam judul buku ini. Peran pendidikan dan pembentukan diri berkaitan erat dengan kebenaran. Kemudian contoh heroik diangkat oleh John M Prior mengenai Thomas More, yang berdiri sebatang kara di hadapan kesewenang-wenangan.
Kokoh, tak goyah, dan setia pada suara hati merupakan salah satu wujud konkret "mengabdi kebenaran". Tetap disadari sepenuhnya, pengabdian itu terancam gagal oleh kerapuhan insani, yang dalam bahasa teologis disebut dosa dan ketidakpercayaan.
G Kirchberger malah menandaskan, kebenaran itu inti agama Kristen (bdk. AM 71-87). Antusiasme tulisan ini sangat nyata. Tetapi, akankah ia bertahan jika dihadapkan pada pasar malam keselamatan yang diikuti oleh pluralitas agama?
Kibaran bendera kebenaran selain mengarah pada (martabat) manusia, juga pada iman akan Allah. Ini yang ditemukan dalam guratan mengenai Karol Wojtyla, Santo Subito! Semua hermeneuse tentang kebenaran akhir-akhirnya perlu diyakini dan berbuah dalam penghayatan hidup bermasyarakat.

Manakah gugatan Allah?

Sejarah, yang merupakan "wadah" di mana manusia memiliki pengalaman akan kearifan, kebenaran, Allah, kerapuhan merupakan locus theologicus. Meskipun Allah itu dapat dialami, tetapi Allah tidak terbilang dalam kategori pemikiran. "Allah itu Allah" (AM, halaman vi). Di sinilah eksistensi Allah mengasumsikan iman-kepercayaan.

Asumsi itu dibingkai dalam kerangka kerja yang pertama-tama mengolah tradisi iman dan filsafat (MK, halaman 24). Halnya sangat jelas sehingga unsur yang berbeda itu akhirnya terjadi simbiosis mutualis. Dalam konteks ini, berteologi mengandaikan ragam sumbangan antara lain dari filsafat, sosiologi, psikologi, dan antropologi.

Alur kedua buku sangat bagus dan kuat sehingga memang sanggup menerbitkan mentari kebenaran dari Nusa Tenggara Timur. Tilik saja Allah Menggugat! Karya Kirchberger ini sangat enak dibaca, sistematis dan runtut, tidak menjadi luntur dan dangkal, meski diracik dengan kosakata yang sederhana dan bersahaja. Kentara sekali penulis AM dibesarkan dalam tradisi intelektual Aristotelian yang thomistik, meski lulusan St Augustin.

Buku ini menuturkan perjalanan dan muatan kebegawanan, yang intinya adalah kebenaran. Kebenaran itu disikapi dalam cara hidup (style of life) secara positif-optimistik. Memadukan antara apa yang diandalkan manusia (yakni martabat luhurnya: akal budi, kebebasan, hati nurani, arah dan tujuan hidup ini) dan apa yang Allah singkapkan pada manusia.
Penyingkapan Allah itu bagaikan gugatan yang mesti disuarakan yang jelas. Persis inilah the prophecy of life. Gugatan Allah di sini ditujukan pada dua semangat dasar yang salah arah: persaingan yang mematikan dan kekerasan yang menyingkirkan.
Simbiosis

Kecermatan seorang Kirchberger teruji ketika AM praktis menjadi Summa Theologica setelah 30 tahun beliau merambah dunia dogmatika dengan tetap memiliki konsern pada eklesiologi. AM mengingatkan saya pada Teologi Sistematika (2 Jilid, Kanisius 2005), yang juga merupakan Compendium teologi N Dister, yang disebut oleh Prof Franz Magnis-Suseno sebagai salah seorang teolog Indonesia utama dalam 30 tahun terakhir. Diskursus, April 2005, 92.
Simbiosis mutualis antara MK dan AM melengkapi khazanah keilmuan dalam laku hermeneutika. Simbiosis ini tidak akan terjadi jika masing-masing disiplin ilmu saling mengeksklusikan.

Inilah kontribusi mendasar kedua buku ini. Yang satu (MK) menegaskan pencarian kebenaran yang belum selesai, yang lain (AM) mengarahkan dengan keyakinan religius ke mana pencarian itu hendaknya diakhiri.

Yang satu (AM) bergerak menurun agar tidak spekulatif-akademis-elitis, melainkan kontekstual dan menelanjangi diri dalam kebecekan lumpur insani. Yang lain (MK) menjadi gelar simfoni mazhab filsafat Ledalero yang nyaris tanpa cacat, kecuali (MK 15) yang mengundang kernyitan dahi.

Persenyawaan filsafat dan teologi melahirkan ilmu humaniora (dalam ranah septem liberales) yang tidak pernah netral. Mengenali gugatan Allah tanpa pengolahan daya nalar-filosofis akan melahirkan fundamentalisme yang destruktif. Memadukan antara MK dan AM berarti menakar kesungguhan keterlibatan ilmu pada masalah-masalah sosial, bahkan yang sakral sekalipun.
Kalau sesanti filosofis berbunyi "Di tengah kedangkalan, kami tawarkan kedalaman", maka nubuat teologis begini: "kami menjadikan kepercayaan, mitra pemerdekaan". Keduanya merayakan kemanusiaan dengan kualifikasi tertentu.
Simbiosis dan pemaduan itu bagaikan peristiwa inkarnasi, di mana Allah "berkemah" bersama manusia. Dia menjadi salah seorang di antara kita. Maksud-Nya agar kemanusiaan diluhurkan dan kembali kepada martabatnya.

*) Eddy Kristiyanto Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

No comments: